Pages

Kamis, 26 Agustus 2010

cinta terbalas nasihat

Share on :
Menjelang matahari terbit, Rasya bergegas menuju sekolah barunya, SMA 3 Tangerang Selatan. Dengan 2 pita merah terpasang di jilbabnya dan mengenakan seragam putih – biru, ia tampak manis. Terlebih pula ia merupakan keturunan Betawi – Padang.

Dengan lari terengah – engah ia menuju SMA 3. Namun karena lelah berlari, ia sampai di sekolah pukul 06.03, telat 3 menit dari waktu kedatangan paling telat. Untungnya ia tidak sendiri, masih ada 10 orang peserta MOS yang juga terlambat.

“Maaf, kalian sudah telat, jadi kalian tidak diizinkan masuk ke dalam gedung sekolah sebelum mendapat hukuman.”, seru kak Andi.

“Semua yang terlambat, BERBARIS DI DEPAN SAYA DALAM HITUNGAN 5! SATU!...DUA!....TIGA!....EMPAT!”, seru kak Nigel.

“SEMUA YANG BERBARIS DI DEPAN SAYA, AMBIL POSISI PUSH UP!”, perintah kak Nigel.

“SATU!”

“DUA!”

“TIGA!”

“EMPAT!”, teriak kak Nigel kepada peserta MOS yang terlambat.

“Ah kenapa harus kena hukum? Padahal kan baru masuk sekolah...jalani saja lah..” keluh Rasya dalam batinnya.

“DUA PULUH EMPAT!...DUA PULUH LIMA!”, teriak kak Nigel.

“Ya sudah, kalian semua berdiri dan bergegas masuk ke gedung sekolah. CEPAT!”, perintah kak Andi.

Mereka semua lalu bergegas memasuki gedung sekolah. Rasya langsung menuju kelas barunya, kelas X.5. Namun sayang, langkah Rasya dihentikan seorang kakak panitia.

“STOP! Berdiri di depan pintu!”, seru kakak panitia itu.

“Yah...capek yang tadi belum selesai...kena lagi sama yang satu ini.”, batin Rasya.

Tanpa disadari Rasya, datang seorang gadis yang ternyata juga terlambat.

Sementara itu, Rasya melirik ke wajah kakak panitia itu. Dari paras wajahnya, ia seperti keturunan arab, bekulit putih, berhidung mancung, dan berambut sedikit ikal. Pada blaser yang dikenakannya, terdapat hasil bordiran bertuliskan “Guderian”.

“Yang berada di hadapan saya, SIAP, GRAK!”, seru kakak panitia itu.

“Siapa namamu?”

“Siap! Rasya Nur Fitriani.”, jawab Rasya.

“Dan kamu yang baru datang, siapa namamu?”

“Siap! Shinta Zafania”, jawab gadis yang baru datang itu.

“Baiklah...kalian mendapat perintah hukuman dari saya berupa menghafal ayat Al Qur’an surah ‘Ali Imran ayat 1 sampai 18. Temui saya 2 hari yang akan datang dan lafalkan ayat tersebut di depan saya, MENGERTI?!”

“SIAP MENGERTI!”, seru keduanya.

Mereka berdua lalu diizinkan masuk kelas. Ternyata di ruang kelas itu hanya tersisa sepasang bangku kosong. Mereka berdua pun duduk semeja.

“Hai, kau yang tadi juga terlambat ya? Namamu siapa?”, tanya anak itu kepada Rasya.

“Rasya Nur Fitriani. Panggil saja Rasya. Aku baru pindah dari Bandung, dan kau?”, tanya balik Rasya.

“Shinta. Shinta Zahrani. Gue tinggal gak jauh dari sini kok. Salam kenal ya!”, anak itu.

Tak lama kemudian, guru pemberi materi datang. Namanya Pak Syaiful. Pak Syaiful lalu memberi materi tentang maksud dan tujuan diadakannya MOS yang sedang dijalani oleh seluruh peserta MOS.

Beberapa jam kemudian, rombongan kakak panitia masuk ke ruang kelas X.5. Seisi kelas langsung terdiam. Ternyata kelas X.5 mendapat giliran sesi perkenalan. Perkenalan pun dimulai dari kak Rahman, kak Lusi, kak Riana, kak Andi, kak Rusli, kak Nigel, kak Supri, dan kak Guderian.

Setelah perkenalan selesai, kak Supri memberi kesempatan bertanya kepada peserta MOS tersebut. Sayang, semua siswa X.5 terlalu malu untuk bertanya. Akhirnya semua kakak panitia itu meninggalkan ruang kelas X.5 dengan sedikit kesal. Setelah semua kakak panita keluar dari ruang kelas X.5, Shinta lalu bergumam.

“Rasya, menurutmu ada yang menarik diantara kakak – kakak panitia tadi?”

“Hmmm...entahlah.”, jawab Rasya sedikit dingin.

Pukul 14.00, peserta MOS dipulangkan. Rasya bersama Shinta keluar ruang kelas bersama. Namun setelah keluar, pandangan Rasya tertuju ke kak Guderian.

“Rasya... Rasya!”

“Hah...Hah? Iya iya ada apa sin?”, kaget Rasya.

“Rasya.. Rasya... Masih siang jangan melamun!” sahut Shinta sambil menepuk bahu Rasya.

“Eh iya...maaf maaf.. Ayo pulang.”, ucap Rasya.

“Tapi...apa yang kau tatap tadi?”

“Ah tidak..bukan siapa – siapa...”

“Siapa? Wah..ketahuan..berarti seseorang dong? Gue tau kok lu tadi ngeliatin kak Guderian..iya kan?” tanya Shinta menyeringai.

“Hmm...entahlah..”, jawab Rasya.

“Gue kasih saran, jangan mudah menaruh hati padanya. Dia itu penghancur hati cewek. Banyak cewek yang tertarik padanya, tetapi dia selalu memberikan respon dingin. Terkadang dia menolak dengan memakai kata – kata yang susah dimengerti.”, ucap Shinta.

“Oh begitu ya.. Ya sudah, ayo lekas pulang. Eh iya, kenalkan aku dengan teman – temanmu dong!”pinta Rasya.

“OK!”, jawab Shinta.

Rasya lalu dikenalkan Shinta dengan beberapa teman dekat Shinta. Setelah itu, mereka pulang bersama.

Hari berikutnya, Rasya tidak mengulangi kesalahannya yang kemarin. Ia datang sebelum pukul 06.00. Pemberian materi pun berjalan biasa saja. Namun saat menjelang waktu pulang, seluruh peserta MOS dibariskan di lapangan sekolah.

“Semua peserta MOS! Kalian semua tidak memiliki kebersamaan! Kalian telah mengecewakan semua kakak panitia!”, seru kak Rahman.

“Semuanya, AMBIL POSISI PUSH UP!”

“SATU!”

“DUA!”

“TIGA!”, perintah kak Rahman.

Semua peserta MOS mendapat hukuman. Tak terkecuali Rasya yang kelelahan. Matanya lalu berkunang – kunang. Ia tak kuasa menahan beban tubuhnya. Rasya pingsan.

“Rosi! Ada yang pingsan disana!”, seru kak Guderian.

Kak Rosi dan kak Guderian lalu menghampiri Rasya yang sudah tergeletak pingsan. Rasya lalu dibopong ke ruang UKS oleh kak Rosi dan kak Guderian. Setelah itu, Rasya dibaringkan diatas matras.

Menjelang waktu pulang, Rasya tersadar.

“Dimana aku?”, ucap Rasya terengah – engah.

“Di ruang UKS. Kau pingsan 1 jam lalu.”, jawab kak Rosi dengan ramah.

“Lalu siapa yang membawa saya ke sini?”, tanya Rasya.

“Saya dan kak Guderian.”

Rasya termenung. Batinnya merasa bahwa hukuman yang diberikan kak Guderian harus dipatuhi. Terlebih lagi Rasya telah berhutang budi padanya.

“Kak, terima kasih ya sudah menolong saya. Titipkan salam terima kasih saya buat kak Guderian ya.”, ucap Rasya dengan tersenyum.

“Sudah kewajiban kita sebagai kakak panitia, de. Baik akan saya sampaikan.” Jawab kak Rosi dengan hangat.

Tak lama kemudian, Rasya dijenguk teman – temannya yang kemarin baru dikenalnya. Mereka lalu pulang bersama.

“Shinta, kau sudah hafal berapa ayat?”, tanya Rasya.

“Ha? Ayat yang mana?”, ucap Shinta sedikit bingung.

“Surah ‘Ali Imran. Ayat 1 sampai 18. Masa kau lupa?”

“Baru 2 ayat...hehehe. Ah sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.” Jawab Shinta sedikit mencibir.

Rasya makin termenung saat itu. Sesampainya di rumah, ia langsung ganti baju, lalu menulis surat cinta untuk salah seorang kakak panitia. Seluruh peserta MOS memang diperintahkan untuk menulis surat cinta untuk salah seorang kakak panitia.

Pada malamnya, dari luar rumah terdengar suara ayat – ayat Al Qur’an. Rupanya Rasya sedang menghafal ayat yang diperintahkan kak Guderian. Rasya memang sedikit bagus dalam makhraj, tetapi kurang mantap dalam tajwid. Karena kelelahan, Rasya tertidur diatas meja.

Esoknya merupakan hari terakhir pelaksanaan MOS. Rasya lalu bangun kesiangan. Karena itu pula, Rasya telat datang ke sekolah. Seperti lusa kemarin, ia dimarahi oleh kak Andi. Terlebih lagi hanya ia yang telat. Setelah dimarahi, ia menjalani hukuman push up sebanyak 30.

Setibanya di pintu ruang kelas X.5, Rasya melihat kak Guderian sedang menasihati peserta MOS kelas X.5. Rasya lalu memecah suasana.

“Permisi kak... Maaf telat...” ucap Rasya gugup.

“Kau yang lusa kemarin telat? Kenapa telat lagi? Kesiangan?”, ucap kak Guderian dengan sedikit emosi.

“I...iya kak..”

Kak Guderian tampaknya mengerti apa yang dialami Rasya. Terlebih lagi ia yang menolong Rasya kemarin, jadi ia mengetahui kondisi fisik Rasya.

“Ya sudah, lekas masuk!”

“Terima kasih banyak kak...”, ucap Rasya dengan tersenyum.

Menjelang pulang, peserta MOS dibariskan. Seperti kemarin, mereka semua mendapat hukuman push up.

Pukul 16.00, peserta MOS dipulangkan, kecuali untuk peserta MOS yang masih berhutang hukuman kepada kakak Panitia, termasuk Rasya.

“Semua peserta MOS yang masih berhutang hukuman dengan saya, cepat berbaris di depan saya dalam 2 barisan!”, seru kak Guderian.

Dalam waktu singkat, terbentuk 2 barisan yang terdiri dari 20 siswa. Rasya mendapat posisi terakhir. Satu demi satu mereka mendapat giliran. Ada yang mengumpulkan kertas folio penuh dengan tulisan pernyataan, kliping, push up, lari 10 kali lapangan, hingga melafalkan ayat Al Qur’an. 1 jam kemudian, akhirnya tiba giliran Rasya.

“Apa hukumanmu?”, tanya kak Guderian.

“Menghafal surah ‘Ali Imran ayat 1 sampai 18 kak.”, jawab Rasya.

“Kau sudah hafal?”

“Sedikit kak.”

“Lalu dimana temanmu itu? Kalau tidak salah ia juga mendapat hukuman sama denganmu.”

“Ia pulang lebih dulu kak...”

Kak Guderian terdiam sesaat.

“Ya sudah, ayo mulai. Jangan lupa ucapkan dahulu ta’awuz.”

Rasya lalu mengucapkan ayat demi ayat. Kak Guderian lalu menutup mata, menghayati setiap kata yang diucapkan Rasya. Setiap kali Rasya melakukan kesalahan, kak Guderian menegur. Hingga Rasya hanya sanggup sampai ayat ke 12.

“Mengapa kau berhenti?”, tanya kak Guderian.

“Maaf kak.. Saya hanya hafal sampai situ...”, ucap gugup Rasya.

“Hmm..ya sudah tak mengapa. Kau sudah bagus mencoba untuk menghafal, dan itu ada hasilnya. Tetapi sayang tajwid-nya masih kurang mantap. Asal kau lebih sering belajar tajwid dan membaca Al Qur’an, pasti akan terdengar lebih bagus. Mau saya bacakan ayatnya?”

“Boleh kak.”, ucap Rasya dengan tersenyum.

Kak Guderian mulai mengucapkan ta’awuz. Ayat demi ayat diucapkannya. Rasya hanya bisa terkesima sambil menatap wajah kak Guderian. Suaranya bagaikan seorang ulama ‘arab yang sedang bertilawah. Hampir tiada kesalahan sedikitpun dalam pengucapannya, baik makhraj, mad, hingga tajwid. Setelah selesai bertilawah, Rasya masih terdiam.

“Hei Rasya, kenapa melihat saya seperti itu?”, tanya kak Guderian dengan senyuman.

“Oh iya iya...maaf kak..”, ucap Rasya sedikit kaget.

Rasya lalu mengambil sepucuk surat dari dalam tasnya, dan memberikannya kepada kak Guderian.

“Eh ini kak ada titipan dari saya. Tolong dibaca di rumah ya.. ”, ucap Rasya sambil tersenyum.

“Hei kau mau kemana?”, sahut kak Guderian.

“Mau pulang kak! Orang tua saya sudah menunggu di rumah. Dadah kak!”, teriak Rasya sambil melambaikan tangan.
“Ya..hati hati di jalan!”.

Kak Guderian terheran – heran melihat sikap Rasya yang aneh seperti itu. Malamnya, ia membuka surat yag diberikan Rasya. Dalam surat tersebut bertuliskan :

Kak Guderian yang baik.

Maafkan saya apabila saya lancang menulis surat ini. Melalui surat ini, saya mau menyatakan bahwa saya menaruh hati pada kakak. Kakak merupakan kakak panitia yang paling berbeda dengan yang lainnya. Kakak tegas, tetapi juga lembut dan tidak keras. Selain itu, kakak juga religius. Kakak menyuruh saya menghafal ayat, pastilah kakak memiliki niat baik terhadap saya.
Kalau kakak mau menjawab surat ini, esok temui saya di taman sekolah

Dengan cinta,
Rasya Nur Fitriani

Kak Guderian lalu diam, berpikir, lalu ia tertidur diatas meja belajarnya sambil menggenggam surat itu.

Pagi harinya, seluruh siswa masuk seperti biasa. Siswa kelas 10 juga sudah berseragam SMA. Rasya datang sebelum bel, lalu bersender di koridor. Menanti kedatangan sosok pujaan hatinya. Namun hingga bel berbunyi, ia tak melihat kak Guderian jua.

Bel waktu pulang berbunyi. Rasya mengobrol dahulu dengan teman – temannya, meminta izin untuk tidak pulang bersama.

“Shin, hari ini aku tidak bisa pulang bareng dulu. Ada sedikit pertemuan. Hehe...”, ucap Rasya menyeringai.

“Dengan siapa? Ohohoh...pasti dengan dia?”, ucap Shinta.

“Iya... Boleh?”

“Hmm saran gue, jangan terlalu berharap banyak kepadanya... Yah tetapi terserahmu, barangkali masih ada harapan.”, ucap Shinta bijak.

Rasya terdiam sebentar, lalu berucap, “OK, terima kasih atas sarannya shin... Aku berangkat dulu. Dadah semuanya!”

“Semoga sukses..!”, sahut teman- temannya.

Sesampainya di taman, kak Guderian rupanya sedang duduk di bangku taman. Rasya tidak menyangka kak Guderian akan datang secepat itu.

“Assalamu’alaikum. Maaf kak telat.”, sahut Rasya.

“Wa’alaikum salam warrah matullah... Oh iya tidak apa kok...”, ucap hangat kak Guderian.

“Bolehkah saya duduk kak?”

“Tunggu dulu. Berdiri di depan saya.”

Keduanya lalu terdiam. Rasya terus menundukkan kepalanya, tidak berani melirik, bahkan melihat seseorang yang berada di hadapannya. Sementara itu kak Guderian hanya memandangi alam sekitar, sesekali menatap wajah Rasya yang tertunduk.

5 menit berlalu. Guderian lalu memecah kesunyian.

“Rasya.... Apakah kau mengerti arti cinta?”

“C..cinta itu...”, ucap Rasya gugup.

“Rasya...Rasya... kau ini tidak mengerti arti cinta, tetapi kau berani mengatakan cinta... Baiklah akan saya jelaskan. Cinta itu adalah rasa kasih sayang yang tulus, murni, dan penuh tanggung jawab. Kau tau apa arti murni tadi?”

“Ti...Tidak kak..”

“Murni dalam hal ini sama saja dengan jujur. Dalam hal ini, mengakui suatu cinta harus jujur, dan memperlakukan cinta itu juga harus penuh kejujuran dan tanggung jawab. Kau mengerti?”

“Ya...sedikit..”

“Kau tau apa kesalahan terbesar remaja masa kini?”

“Tidak kak...”

“Mereka menyalahgunakan cinta, hati mereka. Mereka semua dengan mudahnya mengakui cinta mereka, berpacaran, lalu membohongi orang tua mereka, pacar mereka, hati mereka, bahkan Tuhan mereka. Pada akhirnya hubungan mereka pun juga kandas ditengah jalan. Kalaupun berakhir dengan pernikahan, apakah kehidupan rumah tangga mereka akan berjalan harmonis? Tentu kurang... Apakah kau sudah mulai mengerti Rasya?”

Rasya hanya terdiam dan tetap tertunduk.

“Begini, kau tau, banyak perempuan yang juga sama seperti kamu, menyatakan rasa cintanya kepada saya, tetapi saya menolaknya. Ya itu karena saya tau bahwa saya lebih baik menolak mereka daripada menimbulkan hal yang mubazir bagi saya, istri saya kelak, orang tua saya, dan tentunya di hadapan Allah. Sayangnya, mereka semua masih belum mengerti kata – kata saya ini.

Rasya, dekatkan dirimu kepada Allah. Cinta yang sesungguhnya adalah cinta kepada Allah dan dan Rasulullah salallahu wa’alaihi wasalam. Coba pikirkan, siapa yang memberimu penglihatan, sehingga kau bisa melihat saya, alam sekitar, dan seisi jagad raya ini? Siapa yang memberimu hati nurani, sehingga kau dapan merasakan cinta, sakit hati, kasih sayang, dan dapat membedakan yang benar dengan yang salah? Siapa yang menghidup matikan kamu, kita semua, dan semua makhluk hidup. Jawaban dari semua itu, adalah Allah suba Subhanahu Wata’ala.”

Rasya terdiam, lalu jatuh tetesan air di tempat Rasya berpijak. Rasya menangis.

“Rasya, menangislah. Menangislah karena kita telah berdosa di hadapan Allah. Menangislah karena kita tidak menaati apa yang diperintahkan Allah dan Rasulullah salallahu wa’alaihi wasalam. Menangislah karena kita telah berdosa kepada orang tua kita. Menangislah.”

Kedua mata kak Guderian pun berkaca – kaca. Sementara itu Rasya semakin sesegukan. Rasya mengerti benar apa yang dikatakan kak Guderian, sehingga ia sampai sesegukan. Kak Guderian lalu mengambil saputangan dari kantung celananya.

“Sudahlah Rasya, pakai ini.”, ucap kak Guderian sambil menyodorkan saputangannya.

“Te...terima...k..kasih kak...”, ucap Rasya sambil sesegukan, lalu mengusap matanya dengan saputangan itu.

“Rasya, pesan saya, tetaplah istiqamah. Bertaqwalah kepada Allah. Introspeksi diri setiap saat. Ucapkan istigfar saat kau melakukan kesalahan, dan tanamkan dalam hati agar kesalahan itu tidak terulang lagi. Apabila kau sudah bertekad bulat terhadap saya, maka laksanakanlah pesan saya ini, hingga hati kita dipertemukan kembali suatu saat nanti.”

Rasya tersenyum, melihat ke wajah kak Guderian dengan mata masih berkaca – kaca.

“Kak....terima kasih sudah menyadarkan saya. Maafkan saya atas kesalahan saya ini. Saya berjanji akan melaksanakan pesan saya.”, ucap Rasya sedikit merintih.

Kak Guderian tersenyum, tanpa mengucapkan sepatah kata.

“Kak...saya pulang dulu ya... Sekali lagi, saya benar – benar berterima kasih kepada kakak... Ini kak saputangannya..”,ucap Rasya sambil menyodorkan saputangannya.

“Itu kau simpan saja... Hati – hati di jalan ya...”, ucap kak Guderian.

“Wassalamu’alaikum...”

“Wa’alaikum salam warah matullah...”, ucap kak Guderian.

Hari demi hari berlalu. Rasya telah berubah. Ia bersikap lebih hangat terhadap teman – teman dan guru – gurunya. Rasya lebih murah senyum kepada setiap orang. Ia juga makin berprestasi di kelas dan di sekolahnya. Ia juga menjuarai lomba tilawah tingkat kabupaten. Sesekali Rasya dan kak Guderian berpapasan. Keduanya lalu saling tersenyum.

Tak lama kemudian, kak Guderian lulus SMA. Kak Guderian lalu melanjutkan pendidikan di salah satu universitas di Madinah, Arab Saudi. Meski Rasya merasa kehilangan, ia tetap bertekad bulat terhadap kak Guderian dan menaati pesan kak Guderian.

sumber : forumkami[dot]com

0 komentar:

Posting Komentar